Saturday, October 6, 2007

Strategi Membangun Image, Menangkan Kompetisi di Samudra Merah Industri Seluler

Ribuan produk baru dalam berbagai merek diluncurkan setiap harinya di seluruh dunia. Akses informasi yang tanpa batas memicu proses pengembangan produk yang makin cepat serta metode produksi yang lebih efisien. Barrier to entry semakin mudah diruntuhkan, rahasia dagang dengan gampangnya ditiru dan dibajak. Market share perusahaan pelan-pelan tergerogoti oleh lahirnya kompetitor-kompetitor baru. Gempuran aneka produk baru dalam era demokratisasi pasar juga akan memperpendek siklus umur suatu produk (Product Life Cycle/PLC).
Setiap produk pasti memiliki 4 tahap siklus umur yaitu: Pengenalan (Introduction)-Pertumbuhan (Growth)- Kematangan (Maturity) dan Penurunan (Decline).Perubahan Siklus Umur Produk ini dipengaruhi beberapa faktor seperti keterbatasan umur produk, perubahan penerimaan masyarakat (persepsi, mode dan daya beli) serta adanya produk pengganti atau penemuan baru. Ditengah turbulensi perang produk, perang informasi dan perang harga yang serba tidak menentu, membangun image bisa menjadi benteng bagi perusahaan agar bisa tetap mempertahankan siklus umur produk yang dimilikinya.

Sebagaimana ungkapan yang sering kita dengar, “Don’t even think about competing on price with Wal Mart, or on cost with China!”, semakin menegaskan bahwa membanjirnya produk alternatif dalam persaingan harga yang makin ketat telah menggeser arena kompetisi bukan hanya pada area kualitas, efisiensi dan harga murah namun terlebih pada kemampuan memberikan layanan dan membangun image yang monumental bagi perusahaan.
Membangun image bisa menjadi salah satu cara efektif bagi perusahaan untuk mempertahankan penjualan bahkan menaikkan permintaan masyarakat.Fungsi permintaan bergantung pada beberapa variabel:

Fungsi diatas menjelaskan bahwa besarnya permintaan akan suatu produk X akan bergantung pada harga produk tersebut (Px), harga substitusi produk lain (Py), pendapatan masyarakat (M), komposisi-jumlah penduduk (C), serta image (I).Dengan asumsi jumlah penduduk dan pendapatan masyarakat tetap, satu-satunya faktor yang berkorelasi positif terhadap permintaan adalah variable Image, artinya membangun image mampu menggeser kurva permintaan kearah kanan. Dengan bergesernya kurva kearah kanan perusahaan tetap mampu menaikkan demand pada harga yang tetap, atau menaikan harga pada demand yang tetap. Di masa depan keunggulan kompetitif perusahaan tidak lagi bergantung pada keunggulan harga dan produk semata, namun salah satunya adalah kompetensi dalam membangun image.
Image bagaimanapun telah menjadi sesuatu yang sakral bagi perusahaan. Image yang kuat mampu mengkondisikan persepsi dalam benak konsumen. Dengan persepsi ini konsumen dapat digerakkan untuk tetap loyal dalam produk tertentu. Terlebih bagi industri seluler yang memiliki dinamika sangat tinggi, begitu cepat bergerak dan sarat dengan inovasi-inovasi baru, tantangan perang harga, perang produk dan perang informasi jauh lebih berat. Fitur dan teknologi baru setiap bulan diperkenalkan. Ditengah turbulensi seperti itu Intense Product Line Expansion menjadi salah satu strategi untuk tetap mempertahankan image.
Nokia sebagai market leader industri ponsel saat ini juga menerapkan strategi ini. Hampir setiap bulan diluncurkan seri-seri produk terbaru. Strategi Intense product line extension ini sangat efektif untuk mempertahankan image lifecycle yang dimiliki Nokia. Meskipun siklus umur masing-masing seri Nokia itu sangat pendek, namun setiap varian produk mampu memberikan kontribusi dan dukungan kontinu terhadap siklus umur image Nokia yang terus meningkat dari waktu ke waktu.

Mantra yang sama juga bisa diterapkan untuk industri service provider. Dalam industri ini, strategi intense product line extension dapat dilakukan melalui layanan-layanan aplikasi yang terkustomisasi untuk kebutuhan tertentu dalam skema layanan B2B atau B2C. Untuk layanan korporat, provider dapat membuat aplikasi piranti lunak khusus yang ditambahkan pada tiap ponsel untuk keperluan klien perusahaan, misalkan aplikasi Distribution Monitoring Device untuk memantau ketersediaan stok, jalur penyebaran (routing) dan laporan distribusi secara just in time, bayangkan jika barisan area sales manager perusahaan dilengkapi ponsel dengan aplikasi layanan ini untuk memantau dan melaporkan ketersediaan barang di suatu daerah secara seketika.
Provider juga bisa membuatkan program aplikasi khusus untuk layanan kesehatan. Agar rumah sakit bisa meng-instalkan program terapi bagi pasiennya untuk meniingatkan kapan harus minum obat, jadwal kontrol, diet kalori, dan konsultasi emergency dari ponselnya. Bukan hanya industri retail dan kesehatan saja yang bisa menggunakan model bisnis ini, namun semua industri yang memerlukan fungsi komunikasi-koordinasi baik intern maupun ekstern dapat dipastikan sangat terbantu dengan aplikasi ini.
Perusahaan selular seperti XL perlu mendefinisikan lagi strategi afiliasi sinergis dengan institusi lain untuk mengkonvergenkan layanan yang makin bervariasi pada pelanggannya. Partner afiliasi dirangkul lebih luas, apakah itu dengan perbankan, operator seluler, retail/swalayan, hotel, rumah sakit, universitas, maskapai penerbangan hingga layanan B2G (Business to Government).

Pemilik tempat hiburan, hotel, rumah sakit, bengkel dari masing-masing industri diatas dapat menggunakan fasilitas aplikasi dari XL untuk memikat lebih banyak pengunjung. Contohnya yaitu aplikasi mobile friendster di mal-mal, user-client XL dapat meng-upload profile maupun foto terbaiknya untuk dapat diakses user lainnya, serta berinteraksi lebih lanjut sesuai kebutuhan 2 pihak.

Tentu saja hal ini dapat dikembangkan untuk profil perusahaan, on line auction, protocol transfer (gambar, teks, video streaming, file data) antar pelanggan XL dalam suatu tempat. XL akan menjadi simbol kemudahan komunikasi bagi tiap industri. Masing-masing industri mampu merancang kebutuhan komunikasi yang paling efektif dan terkustomisasi untuk mendekati konsumennya.

Thursday, January 25, 2007

Marketing Idea Competition 2006


Kurang lebih sebulan yg lalu saya berkesempatan untuk berpartisipasi dalam ajang kompetisi Marketing Idea Competition 2006, yg diadakan majalah Marketing. Alhamdulilah saya mendapat anugrah sebagai juara..senang juga banyak dapat kenalan baru, ada yg minta kopi naskah, ada juga teman yang jauh2 sudah mewanti2..”ngga, lu jangan sampai makin narsis ya!!”....gubrak (ya deh kali ini fotonya dibikin kayak tersangka maling ayam aja..hehe).

Tapi terlepas dari itu, saya pgn berterimakasih jg terutama buat Hanum, sumber segala inspirasi gw, Ibu Kus, juga buat temen diskusi: Adianto Nugroho-Danone, Tani Danone, temen2 Palappa UGM, Yolanda-PnG, Rio Jujuk, Fidel-Sampoerna, Yuri n msh banyak lagi.

Sebtulnya ga ada yg istimewa dari naskah yg aku buat, tentang Business Social Transformation... yup coba deh perhatikan, inovasi bisnis yang sukses pasti mampu menciptakan transformasi sosial...contohnya Ipod, Microsoft, Ford Tmodel(dulu) even fenomena blog ini deh. Makanya judul yang aku pilih kemudian: ”Strategi Pemberdayaan Social Capital Bagi Penjualan sepeda Motor Yamaha”

Yang dimaksud Social Capital itu adalah aset-aset berupa hubungan baik (relationship), kepercayaan (trust), ikatan nilai dan norma antara perusahaan dengan seluruh stakeholdernya. Sebenernya Konsep Social Capital gak beda dengan Economic Capital jelas dua2nya bermanfaat bagi perusahaan. Tapi bedanya, modal ekonomi semakin MENYUSUT JIKA SEMAKIN SERING DIGUNAKAN, sementara modal sosial justru semakin BERTAMBAH JIKA SELALU DIBERDAYAKAN.

Mantra pemberdayaan Social Capital ini juga yang dipake pemenang nobel Muhammad Yunus dalam membesarkan Grameen Bank. Bermodalkan Trust dan Relationship, Grameen Bank mampu menyalurkan pinjaman hingga US$ 1,5 Juta perhari, dengan tingkat pengembalian 98%, pada jutaan rakyat miskin di Bangladesh. Nha tapi bagaimana perusahaan juga bisa jadi Tipping Point Alchemist kayak gitu? Mampu mengubah batu jadi emas?..bagaimana perusahan mampu membuat snowball effect dalam sebuah penciptaan transformasi sosial...

Ada 2 model yg aku kembangkan, pertama model network chain customer, dimana perusahaan fokus pada aggregat demand kumulatif—bukan pada individu namun komunitas. Dalam network customer itu definisi customer dibedakan lagi sebagai Influencer (orang yang mempengaruhi), Purchaser (orang yang membayar/membeli) dan user (Pengguna). Nha tentunya program2 marketingpun jadi ga bisa main pukul rata aja kan?

Kedua, model network chain market. Lingkup pasar juga bukan diartikan tempat bertemunya penjual n pembeli saja, masih ada lingkup pasar komplementer/metamarket, yaitu semua jenis pasar yang mungkin terlintas dibenak konsumen. Misal metamarket sepeda motor ya showroom/dealer (motor baru maupun bekas), bengkel, perusahaan pembiayaan, perusahaan asuransi, bengkel, dealer spare parts, media otomotif, dsb. Tantangannya bagaimana perusahaan mampu memperluas dan memperdalam penetrasi distribusinya dengan ”mengorkestrasi” rantai pasar metamarket itu dalam jaringan proses terintegrasi. Tujuannya apalagi kalau bukan efisiensi?

Nah buat yang pengen tau, bagaimana contoh kedua model tersebut bisa diimplementasikan..silahkan kontak japri aja ya, saya kasih gratis full copy naskah lomba saya..buat apa sih ilmu disimpan rapat2 dalam hardisk, mending dibagi2kan, siapa tau lebih bermanfaat..toh akan mempertebal social capital kita juga kan..hehe

Friday, January 19, 2007

Blue Ocean Strategy


Genderang perang telah ditabuh. Tantangan globalisasi mau tidak mau telah menyeret perusahaan dalam arena kompetisi yang sangat ganas. Produk menjadi komoditi, persaingan tak mengenal batas, pasar kemudian menjadi medan tempur antara hidup dan mati. Serbuan aneka produk selain memperpendek siklus umur produk juga dapat menjerumuskan perusahaan dalam perang harga yang tidak sehat.

Yup, perusahaan telah terjerumus dalam pusaran samudra merah yang berdarah-darah. Chan Kim dan Renee Mauborgne memperkenalkan konsep Blue Ocean Strategy, dimana sebaiknya perusahaan membuat innovative value proposition dan beralih ke samudra biru. Samudra biru didefinisikan sebagai wilayah industri yang belum terjamah, dimana kompetisi belum terbentuk. Di arena yang baru ini, demand bukanlah sesuatu yang harus diperebutkan namun akan datang dengan sendirinya. Suatu keadaan yang sangat ideal sekali untuk berbisnis.

Coba deh bandingkan konsep Red Ocean Strategy yang selama ini sering menjerumuskan perusahaan, dan konsep baru Blue Ocean Strategy yang ditawarkan Kim & Mauborgne

hmm dahsyat ya...buku ini juga yang menginspirasi judul thesis ku: " Analyzing Value Innovation Process, Application of Blue Ocean Strategy in Danone's Biskuat and Milkuat"...hmm makasih juga buat hanum yang udah beliin buku ini...hehe

Tapi yakin deh pasti udah banyak yang baca buku superdooper bestseller ini, nah tanpa bermaksud menggalakan pembajakan, aku bagi juga buku ini dalam versi e-book, (silahkan klik sidebar BagiBagiBuku disamping) or bisa juga klik disini
(buruan ya sebelum linknya expired)

Thursday, January 18, 2007

Social Myopia

Oke, kita tau dalam setiap rantai nilai aktivitasnya, perusahaan pastilah berinteraksi dengan entitas sekitarnya, —misal masyarakat lokal, pekerja, supplier, pemerintah konsumen, dsb. Jadi setuju kan kalau kelangsungan bisnis perusahaan sangat bergantung dari bagaimana perusahaan mampu mengelola hubungan baik dengan entitas-entitas ini.

Nah namun masalahnya, hubungan baik itu kadang tidak dilakukan secara seimbang. Pengambil keputusan cenderung lebih mementingkan stakeholder sekunder perusahaan (pemegang saham, pemerintah, NGO) daripada stakeholder primer (customer, karyawan, masyarakat sekitar). Gejala ini yang aku ilustrasikan sebagai Social Myopia atau rabun jauh sosial.

Gejala rabun jauh sosial itu biasanya terjadi ketika pengambilan keputusan cenderung hanya untuk mengamankan jabatan atau sekedar demi kepentingan jangka pendek perusahaan (lebih jauh baca tentang agency conflict). Banyak lho kasus perusahaan yang akhirnya ambruk karena memiliki perspektif sempit dalam menjalankan kewajiban sosialnya. llustrasi dibawah ini akan menggambarkan fenomena social myopia serta potensi biaya yang ditanggung perusahaan dalam berbagai tingkatan

Level 1 Cost menunjukkan tingkat biaya sosial paling rendah berupa sanksi hukum oleh pemerintah atau pemecatan direksi oleh pemegang saham. Meskipun biaya sosial paling rendah, namun pengambil keputusan perusahaan justru sering memberi perhatian paling besar pada level biaya ini. Sebaliknya, Level 3 Cost yang dampaknya jauh lebih besar (hilangnya reputasi, karyawan mogok atau perusakan aset/tuntutan ganti rugi masyarakat), justru sering diabaikan oleh jajaran direksi.

Nah kalo sudah gitu mestinya program tanggung jawab sosial harus dijadikan bagian dari keputusan strategis yang juga mampu memberikan manfaat perusahaan seluas-luasnya untuk jangka panjang....nha ada ide ga gmn ngembangkannya?

Wednesday, January 17, 2007

Kelakuan Anggota Dewan yang Terhormat

Lagi rame nih, DPR pengen segera men-goal kan PP No 37 tahun 2006..yup dengan PP ini anggota dewan akan memperoleh kenaikan tunjangan berikut rapelan setaun yang jumlahnya extravaganza...aming-aming deh.. ini mah ga ada bedanya ma kelakuan preman pasar..yang sok berkuasa n memeras uang rakyat.....demi keamanan katanya

Ok-ok berapa sih angka tunjangan itu? nyomot dr blog lain,ada angka hasil penelitian Denny Indrayana, pakar hukum dari UGM, mengacu data dari Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Sulawesi Selatan....

Lucu, ketua DPRD mengantongi gaji setidaknya 36 juta, lha gaji gubernurnya 8,5 juta.bandingkan dengan gaji guru besar golongan 4E yang mengabdi 32 tahun, gajinya cuma 5,3jt.
Itu baru gaji dewan ditingkat Provinsi, gimana ditingkat pusat ya?...ga heran deh orang2 pada berebut kursi… hmm bisa aja mereka ngeles, wajar dong, kan lingkup tanggungjawabnya jauh lebih gede..(demi rakyat katanya..toing..hihi bahasa preman juga).. tetep aja rent seeking dalam segala bentuknya (ga preman, ga dewan, sami mawon)

Cuma bgaimana sih mekanisme indikator kinerja anggota dewan itu?..kyknya drpd uang negara dipake buat yg ga jelas, kenapa ga buat me-reward guru,dokter atau pegawai negeri yang berprestasi..bisa jadi insentif buat kinerja aparat kita tuh…

Belum lagi cerita penggalakan program studi banding anggota dewan(negara tujuan wisata tentunya..hehe)...seperti dengar2 terakhir kunjungan anggota DPR ke Vienna Austria..berhubung datengnya pas weekend, jadilah ikut tour sound of music dulu di Salzburg, baru dihari keempat mereka mengunjungi parlemen dan markas OPEC. Kabarnya KBRI sampai pusing nyari jasa penterjemah shubungan rendahnya kemampuan bahasa inggris anggota dewan kita..gleg.
Pertanyaan yg diajukan misalnya seputar kebijakan BBM , pertambangan dan peran keanggotaan austria di OPEC….woops..toing99x…sejak kapan ya???..ah mudah2an ini cuma isu.

Tuesday, January 16, 2007

Ekonomi Vs Politik

Hampir sebagian besar politisi negeri ini tak pernah henti2nya mengkritik para ekonom2 kita, yang katanya lulusan PhD tapi ga pernah becus ngurus ekonomi negara..sementara para ekonom kita pun ga mau kalah..gimana mau memajukan ekonomi lha wong setiap kebijakan selalu diintervensi politisi2 yg cm punya kepentingan sempit...
Bener ato nggak ya, kok rasa2nya dua cabang ini kayak terlibat perang dingin..apalagi kalau udah membahas isu2 sensitif kayak privatisasi,impor beras..dsb..jadi aku yg mencoba memamahi keduanya rasanya kayak kegencet diantara dua gajah yg sedang main sumo...("stuck in the middle" juga diartikan seseorang yang ga jelas arahnya mo kemana..haha)

coba ah iseng2 memetakan kedua jenis ilmu itu...dengan framework uthak-athik gathuk tentunya:

coba deh perhatikan poin pertama, baik ekonom maupun politisi sadar, semakin besar capital yang bisa dimiliki, smakin mempermudah mereka memperbesar kekayaan/kekuasaan yg mereka miliki...makanya kongloromerat gampang bgt makin memperkaya diri, sama kayak advantage yg dimiliki seorang incumbent.

Dari segi motivasi jelas, kedua ilmu itu cuma alat mencapai tujuan. Alat ini bisa untuk perbaikan atau justru merusak (tergantung siapa yg memakai alat itu, man behind the gun)

Ekonom terbagi 2 aspek, aspek mikro yg berorientasi growth, dan aspek makro yg berorientasi balance..mestinya demikian juga politik, kapan harus tau vote gathering kapan harus tahu kompromi (demi stabilitas politik juga).
Dalam ekonomi ada yang namanya Market Failure (monopoli,dsb),demikian juga dalam politik bisa saja terjadi Democracy Failure (mungkin ini yg terjadi di Indonesia, intinya ada unequal playing field partai> misal jadi politik uang,dsb).

Lawan dari market failure dalam ekonomi juga dikenal government failure (ekonomi terkontrol yg kadang malah ga efisien n terlalu birokratis)..nah dalam politik ini diwakili gejala kediktatoran otoriter sebagai kontratesis demokrasi.

Nah yang jadi pertanyaan..ekonomi perusahaan modern sudah punya mekanisme kontrol manajemen yang jelas. Tapi di organisasi politik sistem manajemen kontrolnya kok kurang berkembang ya?..trmasuk mekanisme reward punishment utk anggota parpol n dewan.Diperusahaan mekanisme profit sharing shareholder itu biasa, tapi diparpol kompromi power sharing bisa alot bgt?..belum lagi kontrol anggota dewan yang dengan seenak sendiri bikin kebijakan demi perut sendiri (mengatasnamakan rakyat tentunya)..lebih jauh ttg uneg2 ini udah tumpah di threat sebelumnya...

aku mulai PhD juga nih (baca: Permanent Head Damage),kasih masukan dong wahai para ekonom dan politisi

Tentang Pembelajaran Bisnis


Bisnis bisa jadi merupakan gabungan ilmu dan seni yang sangat kompleks...metode untuk mengajarkannya-pun terus dikembangkan dari waktu kewaktu, memang selama ini pendekatan studi kasus sering dipakai disekolah bisnis. Tapi ini juga banyak dapat kritikan keras (salah satunya ada yang bilang belajar kasus bisa terlalu abstrak dan menjauhkan kita dari realitas). Aku pribadi ga setuju dengan kritik itu. Memang kita ga bisa menerapkan solusi satu kasus untuk kasus yang lain, karena setiap kasus punya variabel komplek yang berbeda, bisa jadi sangat ruwet. Makanya studi kasus mengajarkan kita pendekatan yang terstruktur untuk mengurainya, dengan kata lain mengasah analogical reasoning kita dalam mengambil keputusan bisnis.

Nah yang jadi masalah, masih banyak juga lho dosen yang terlalu asyik dimenara gadingnya masing2, menganggap ilmu dibidangnya paling penting...jadi jangan salahkan juga kalau kemudian pemikiran mahasiswanya jadi terkotak-kotak..contoh ada temen mahasiswa yang maunya belajar marketiiing aja, trus gatel2 liat angka2 finance.. ato sebaliknya anak finance bilang kalau marketing itu aktivitas abstrak yang bisanya cuma morotin kas perusahaan. Sebenernya justru pemikiran terkotak-kotak ini yang membuat output sekolah bisnis sering jadi out of context, ga nyambung sama realita..

Bagimanapun realita bisnis itu merupakan dinamika jalinan sistem komplek.....jadi nggak mungkin bisa dibedah cuma pake satu perspektif or beberapa tools generic saja (jadi inget if you only learn to use a hammer, you may treated everything like a nail).

Rasa-rasanya metode integratif learning dengan melibatkan multi disiplin perlu dilakukan, disamping melibatkan dosen berbagai jurusan, juga praktisi lintas profesi..(kenapa nggak kita belajar market customization dari seorang penjahit?)..Atau paling nggak dengan membuat kurikulum atau aktivitas terintegrasi..biar kegiatan seperi diskusi jurnal, kasus, kuliah umum praktisi, kunjungan industri, simulasi bisnis, outbound nggak jalan sendiri2 dan banyak yang ga nyangkut karena datang dan pergi begitu aja....